Selasa, 17 Januari 2017

secangkir kopi hitam pahit

Kelam benar mata itu, mata yang jauh memandang menembus bagian terdalam dari hatinya entah sedang mencari, entah sedang mencaci yang pasti ia sedang mengenang segala pengalamannya juga pengetahuannya. Dari mataku, ia semakin terhisap akan ingatannya sendiri semakin jauh ia menggali semakin dalam pula ia menghilang ditelan kenangannya.

Sebentar kemudian ia mendengus melepaskan segala kekalutan di kepalanya, dengusannya meski pelan dan jauh ditelan keributan suara jeritan kenalpot kendaraan yang lalu lalang tapi dengusannya, ya dengusannya itu seakan letupan gunung yang memuntahkan segala isi perut yang lama bergolak dalam rahimnya. Kurasakan suasana mencekam dalam dengusannya, dapat kubayangkan berbagai binatang dan manusia yang lari tunggang langgang menjerit meronta menangis meraung mencari selamat.
Sedangkan aku sendiri tak bisa apa-apa hanya terpaku terdiam seperti pohon yang bisu meski dalam diri ingin meronta meraung mencaci, namun akhirnya terbakar juga menjadi abu terhempas leleran lahar kesedihannya.

“kau tahu, jalan cerita itu memang tidak pernah akan berakhir”

Kini ia mulai melempar lagi potongan-potongan kata dari mulutnya. Dan aku tetap diam, hanya kutangkap gerak geriknya dengan mata dan telingaku, kutahu ia hanya ingin menumpahkan segala sampah dikepalanya, dan sebagai teman yang baik aku akan menerima semuanya setidaknya sampah itu bukan sampahku tak jadi masalah seberapa banyak sampah yang dilontarkan dari dalam kepalanya toh tetap tidak akan tertampung di kepalaku dan akan luruh ditiup angin malam.

Sebenarnya ia hanya ingin meyakinkan dirinya, kulihat dari kata-katanya ia hanya berbicara dengan dirinya sendiri, ia hanya perlu seseorang untuk megembik mengiyakan argumennya membuang segunung sampah yang terperangkap dalam tempurung kepalanya. Kulihat potongan-potongan kata yang dilempar dari mulutnya itu kini ia lahap lagi.

“ya.. selama ini kita dihasut dongeng dan cerita yang keliru, karena cerita itu sendiri tak akan pernah berakhir,”

“kau tahu, akhir cerita itu tidak pernah akan berakhir dengan hidup yang bahagia selama lamanya,”

“berakhir satu cerita, berawal juga cerita baru dengan Sengkuni dan Duryodana baru lagi,”

Kutangkap muara yang bergejolak meluap di matanya, perlahan lahan mulai membenamkan dirinya dalam kelam ingatannya. Kurasakan muara itu semakin deras meronta membanjiri seisi rongga mata. Kulihat ia berusaha keras menahan derasnya banjir bandang dari muara kepedihan, tapi apa upaya, semakin keras ia menahan maka semakin dahsyat tekanannya. Karena telah memenuhi seluruh rongga matanya bahkan sampai disetiap mili lipatan pelupuk mata, akhirnya lolos juga setetes.

Sebutir mutiara meleler sunyi di pipi, tampak memang hanya setetes yang meleler di pipi, tapi jauh didalamnya kulihat gemuruh debur air berjuta kubik yang jauh lebih mengerikan dari gemuruh debur ombak tsunami sekalipun. Gemuruh debur juta kubik air yang berlari kedaratan dan siap meluluh lantaakkan segala kehidupan di depannya. Gemuruh debur itu tersembunyi rapi dalam sunyi leleran sebutir mutiara di pipinya.

Kulihat ada serupa palung di hatinya, palung yang tercipta dari tangan tangan indah dan tangan tangan getir kenangan. Tangan-tangan itu beradu mengaduk-ngaduk isi hati hingga mencipta palung yang dahsyat makin lama makin menganga dan mulai menghisap segalanya.

Karena berada di dalam, palung itu mula-mula menghisap isi hatinya. Ia menghisap segala sesuatu di dalam lubuk hati, kenangan, keindahan, semakin lama bagian terluar pun ikut terhisap, tawanya, seyumnya juga sinar matanya, hanya tersisa keputusasaan yang merupakan bagian dari palung itu sendiri. Kulihat matanya dan pipinya kini mulai cekung terhisap palung hatinya. Rona wajah sirna berganti warna kelam di pelupuk mata dan bibirnya, barangkali darahnya sudah habis terhisap.

Kini yang tersisa hanya seonggok daging yang telah menyerap busuknya dunia, onggokan daging yang menyimpan dendam juga bibit penyakit hati, seonggok daging yang hanya mengeluarkan desis beracun akan kegetiran hidup. Barangkali burung nasar pun akan berpikir dua puluh empat kali sebelum memakan onggokan daging busuk ini. Onggokan daging yang busuk karena tercincang pisau kehidupan dari belakang.

***

Bulan sangat terang malam ini, karena pas mecapai bulatan sempurnanya serupa kue terang bulan yang dijual oleh pedagang jalanan. Sayang cahaya sayu bulan yang tumpah ruah itu kalah digenggam cahaya neon Edison yang ingin ikut menyibak gulita malam.

Remang-remang dibawah siraman cahaya bulan, beberapa orang terlihat asik bersenda gurau jauh dari jangkauan lampu jalan. Beberapa pria tanpa wanitanya bersenda gurau terdengar sayup-sayup, sebentar bising kendaraan yang mengangkut sayur timbul pelahan di kejauhan makin mendekat makin nyaring dan meredam lagi saat menjauh beserta sayur-sayurnya ditelan gulita.

Dedaunan pohon trembesi di sebrang jalan melambai-lambai dimainkan angin, beberapa yang sudah menguning luruh dibawa angin melayang berayun ayun hingga ke tanah, beberapa ada yang disangkutkan angin di atap genting rumah orang, sisanya berakhir membusuk memberi makan pohon induknya.

Sebentar angin sampai membelai bulu tengkuknya. Tapi tengkuk itu, ya tengkuk itu seperti terbuat dari ubin, dingin tak terpengaruh tiupan angin yang membawa embun malam. Putus asa menggoda tengkuknya angin kecil itu beralih membelai tengkuk dan telingaku membuatku menggigil dibelainya. Kukenakan tudung jaket dan kutarik keatas resleting jaket sampai ke pangkal leher untuk menahan tiupan kecil angin malam.

Kuperhatikan sejenak, seringkali ia berdebat dengan pikirannya sendiri. Duduk dengan kaki yang mengatup bertemu dikedua lutut dan sikut menahan badan di daun meja sembari jari-jari merancah saling menundukan satu sama lain. Masih tetap membisu, barangkali pergulatan di kepalanya belum mencapai kata mufakat, hingga menyumbat potongan kata di kerongkongan.

Kopi yang barangkali sudah membeku karena sejam dibalut hawa dingin malam kini dijamahnya. Ampas bubuk kopi yang telah berkumpul dan tersusun rapi di dasar cangkir seketika terjungkal membuncah berhamburan dihisapnya. Baru sebentar ditahan ditengah lalu dijungkalnya lagi cangkir kopi itu ke bibirnya, dihisapnya lagi isi cangkir itu lalu di letakkan lagi di atas lepek dan ditutup. Ampas bubuk yang telah membuncah berderai lembam ke dasar cangkir.

“kau tau, ia melakukannya lagi,”

Belum sempat kujawab potongan katanya, ia kembali melemparkan potongan kata lagi, seakan hanya ingin kudengar tanpa harus memprotes. Ia hanya membutuhkan telinga bukan lidah!

“dan ku akhiri seketika itu,”

Kulihat mata cekung yang sebelumnya melihat lurus menembus dalam dalam hatinya itu kini diseretnya ke arahku, kali ini dengan sedikit api membara didalamnya. Gerahamnya mulai berkernyit saling bertopang mengokohkan barisan.

“ya.. akan ku lanjutkan cerita ku sendiri..”

***

Suatu tepukan di punggung tiba-tiba menyadarkanku.

“Sudah pukul dua pagi, ngapain kamu sendirian disini?” suara pemilik warung yang berat menyambar.

“Ah,”
“Nggak, Cuman teringat Mukidi.”

“Sudahlah, dia sudah tenang sekarang, tak ada penderitaan dirasakannya, habiskan sisa kopimu dan pulanglah, besok kamu kerja,” titah pemilik warung setengah mengantuk.

Bagikan

Jangan lewatkan

secangkir kopi hitam pahit
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.